Waktu
Detik waktu terus melangkah. Tak
peduli denganku yang sudah tesengal-sengal mengejar ketertinggalan. Melihat
sekitar malah semakin membuatku merasa tertinggal jauh. Lebih baik aku fokus
pada jalan yang kutempuh. Mereka memang tak bersalah. Hanya aku yang harus
mengerti. Sudahlah abaikan yang membuat langkahku goyah dan pada akhirnya
terhenti. Bila ada yang harus disalahkan itu adalah aku. Bukan mereka dan juga
bukan mereka yang memandangku sinis.
Denting waktu mengingatkanku bahwa aku
harus menyelesaikan tugasku yang menumpuk jika tidak segera diselesaikan.
Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit dan pada akhirnya bisa roboh
menimpaku. Raungan sang waktu kembali terdengar. Aku kembali terbangun, melihat
si panjang telah menempati angka sepuluh, sedangkan si kecil menuju angka satu.
Sementara itu, si merah terus berputar mengitari angka demi angka. Kenapa
mereka tak pernah lelah untuk bekerja sehari semalam. Sementara aku begitu
lelah. Aku baru tau jika ada baterai yang menjadi bahan bakar dan berkoordinasi
dengan mesin waktu untuk menggerakkan jarum waktu. Lalu, apakah bateraiku
lemah? Atau mesinnya yang rusak karena bekerja terus-menerus?
Menunda. Kata yang sangat ingin
kuhindari. Menunda adalah hal yang membuat tugas-tugasku semakin bertumpuk dan
tak terselesaikan. Kata yang paling tepat untuk melawan kata ini adalah
memulai. Dan tindakan nyata untuk mewujudkannya adalah kata mulai itu sendiri.
Aku harus memerangi musuh terbesarku. Menahan beban berat berupa rasa kantuk
yang menempel di kelopak mata. Segelas Theobroma
cacao telah mengalir dengan lembut di kerongkongkan dengan gerakan
peristaltik dan bermuara pada sfingter cardio. Senyawa yang masuk bereaksi yang
mengakibatkan asam lambungku menurun dan berbanding terbalik dengan kadar
kafein yang terkandung di dalamnya yang membuat kerja sistem sarafku meningkat.
Efeknya rasa kantuk perlahan memudar dan indera penglihatanku terbuka.
Kertas laporan praktikum yang
tergeletak di atas meja belajar berukuran 60x100 cm menungguku untuk segera
menyentuhnya. Bolpoin merk pengemudi pesawat terbang juga seolah-olah
memanggilku untuk segera merangkai kata di atas kertas yang masih putih bersih.
Hanya ada bingkai garis berukuran 4433 dari pensil yang menghiasi. Jemari ini
tergerak untuk membuka tutup bolpoin dan mulai menggoreskan tinta hitam.
Memulai. Akhirnya kata itu muncul lagi.
Kata demi kata terangkai menjadi
kalimat. Kalimat demi kalimat tersusun menjadi paragraf. Alinea-alinea baru pun
terus terbentuk. Sambil membaca refrensi dari buku perpustakaan kususun laporan
praktikumku. Targetku sebelum adzan shubuh berkumandang aku telah menyelesaikan
tugasku. Kulirik sang waktu, si panjang telah berotasi dua kali dan si pendek
sekarang menuju angka tiga. Dan si merah masih bersemangat mengitari angka demi
angka. Kuputuskan untuk berhenti menulis. Kedua kaki ini tergerak untuk
melangkah menuju keluar kamar.
Bintang-bintang berhamburan di langit
malam bak permadani bertabur cahaya keemasan. Si bulan senang karena malam ini
ia tidak kesepian. Ada kawanan bintang yang menemaninya. Di bawah langit malam
aku merasa iri pada si bulan, dia
ditemani oleh bintang-bintang. Sementara aku disini hanya sendiri. Aku juga
ingin ditemani oleh kawan-kawanku. Rindu pun menelusup ke relung hati. Ada bias
kerinduan yang muncul ke permukaan hati. Rekaman kenangan masa lalu pun
terputar kembali. Sebelum berlanjut terlalu jauh maka aku segera meng-cut video yang terlanjur terbuka.
Guyuran air kran memberikan stimulus
pada saraf yang ada di bawah permukaan kulit untuk diteruskan ke otak. Beberapa
detik kemudian kurasakan rasa dingin merasuk ke tubuhku. Dinginnya air tak
menyurutkan semangatku untuk mengambil wudhu. Sepertiga malam terakhir menjadi
momen paling kutunggu untuk melepas penat atas kesibukan yang terus menderaku
dan menuangkan segala kegundahaanku. Dia adalah tempat paling nyaman bagiku
untuk menyandarkan segala beban ini. Dia juga menjadi tempat paling aman untuk
berbagi cerita. Awalnya aku terbangun karena terpaksa melaksanakan amanat ibu
untuk tak lupa melaksanakan shalat tahajud dan bermunajad padaNya. Namun,
seiring berjalannya waktu aku merasa kegiatan ini adalah suatu kebutuhan. Tidak
hanya komputer yang butuh untuk di-refresh,
tapi otak dan jiwaku juga butuh untuk direfresh.
Bagiku cara merefresh otak dan jiwa
adalah bertemu denganNya disepertiga malam terakhir. Aku merasakan ketenangan
yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Malam ini kusampaikan perasaan yang
sedang kuhadapi padaNya. Tentang semangatku yang mudah menguap seperti minyak
atsiri yang ditempatkan pada tempat terbuka. Akhir-akhir ini aku merasa
semangatku semakin menurun ketika aku berada di antara mereka. Mereka yang
menganggapku sesuatu yang tidak biasa. Aneh. Selalu membuat mereka
bertanya-tanya. Dan berulang kali aku gagal menjawab pertanyaan mereka.
Kututup curahan perasaanku dengan
mengucap syukur padaNya karena selalu bersedia mendengar keluh kesahku. Tak
berapa lama kemudian, terdengar suara adzan bergema dari laptop. Kulanjutkan
berdiri untuk melaksanakan sholat shubuh.
Fajar pun datang membawa harapan baru.
Setiap pagi tiba selalu ada harapan baru. Waktu adalah modal manusia untuk
hidup. Selama waktu bergulir selam itu pula harapan selalu ada. Aku pun
berpendapat seperti itu. Akhirnya kutemukan semangatku kembali. Ternyata
semangatku adalah kesempatan yang masih diberikan olehNya. Waktu.
Aku tak lagi peduli dengan mereka yang
menganggapku aneh. Aku memang aneh. Aku terlahir sebagai seorang yang normal.
Namun, kedua orang tuaku bisu tuli. Mereka menyandang bisu tuli sejak lahir.
Akan tetapi hanya fisik mereka yang cacat, hati mereka begitu baik. Mereka
memberikan kasih sayang penuh kepadaku. Mengajariku arti kehidupan dan
pentingnya bersyukur serta menghargai anugerah hidup yang diberikan olehNya.
Mereka yang menganggapku aneh itu sebenarnya
hanya belum paham bahwa ada sesuatu yang bisa menjelaskan bahwa hal ini
bukanlah sesuatu yang tabu. Inilah yang aku pelajari pada studiku di perguruan
tinggi. Ada ilmu yang bisa menjelaskannya yaitu Genetika. Ilmu genetika
merupakan ilmu yang mempelajari tentang pewarisan sifat pada makhluk hidup. Ada
hukum yang dinamakan hukum Mendell. Pada hukum Mendell terjadi penyimpangan
yang salah satunya adalah modifikasi epistasi resesif rangkap. Akan tetapi, aku
tak bisa menjelaskan hal tersebut kepada mereka sehingga mereka bisa
memahaminya.
Kejadian ini memberi pelajaran penting
bagiku. Kita boleh paham mengenai sesuatu hal, dalam hal ini ilmu. Namun, ilmu
itu akan sia-sia apabila kita tidak bisa memberi kepahaman kepada orang lain
tentang ilmu tersebut. Sehingga ilmu tersebut terus hidup dan tidak hilang
ditelan waktu. Satu hal lagi, mungkin
kita mudah untuk menjelaskan suatu pengetahuan kepada orang yang
berpendidikan, namun kita akan menemui kesulitan ketika menjelaskan kepada
mereka yang berpendidikan rendah. Padahal kita tak selalu berhubungan dengan
orang yang berpendidikan. Ada kalanya kita juga berhadapan dengan masyarakat
yang berpendidikan rendah. Seperti masyarakat di sekitar tempat tinggalku.
Sekali lagi ini bukan salah mereka.
Akulah yang salah. Aku yang tahu namun tak bisa memberi tahu mereka sehingga
mereka bisa memahaminya. Kedua orang tuaku juga tak bersalah. Mereka adalah
kado terindah yang diberikan Tuhan untukku dalam hidup ini. Aku tak pernah
menganggap mereka cacat, bagiku mereka sempurna. Meskipun secara fisik mereka
cacat, namun mereka memiliki kesempurnan dalam memandang dan menghargai akan
anugerah waktu yang diberikan Tuhan untuk mereka. Mereka bersyukur atas
kesempatan hidup yang telah diberikan Tuhan kepada mereka. Untuk itu mereka
ingin memanfaatkan kesempatan dengan sebaik mungkin. Salah satunya menyanyangi
dan menjaga titipan Tuhan. Putri semata wayang mereka.
Sinar mentari pagi menerobos ke celah
jendela kamarku. Rupanya aku tertidur lagi setelah menyelesaikan laporan praktikumku.
Kupandang sekitar kamarku. Buku-buku refrensi, kertas F4, dan lembaran-lembaran
fotokopian materi kuliah berserakan di bawah lantai. Lantai ubin berbentuk
jajar genjang yang berwana putih pun jadi tak terlihat. Kulirik sang waktu yang
duduk di atas meja belajarku. Si panjang berhenti di angka enam dan di pendek
menuju angka tiga. Sementara si merah terus mengitari angka-angka. Aku juga tak
mau kalah dengan mereka. Aku harus bergerak. Kertas-kertas dan buku yang
berserakan segera kurapikan dan bersiap menuju tempat yang dua tahun ini selalu
kudatangi.
Waktu memang akan terus berjalan. Kita
tak tau apa yang akan terjadi pada waktu yang akan datang. Semua masih abu-abu.
Percampuran antara hitam dan putih. Tak perlu merisaukan apakah warna putih
atau warna hitam yang nantinya akan lebih dominan. Hitam dalam artian kenyataan
buruk yang terjadi atau putih dalam artian kenyataan baik yang terjadi. Biarlah
semua terjadi sesuai kehendakNya. Bagiku yang terpenting adalah berbuat yang
terbaik semaksimal mungkin karena Tuhan masih memberikan kesempatan untuk
hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar