My Best Friend

Minggu, 04 Oktober 2015

Waktu


Waktu

          Detik waktu terus melangkah. Tak peduli denganku yang sudah tesengal-sengal mengejar ketertinggalan. Melihat sekitar malah semakin membuatku merasa tertinggal jauh. Lebih baik aku fokus pada jalan yang kutempuh. Mereka memang tak bersalah. Hanya aku yang harus mengerti. Sudahlah abaikan yang membuat langkahku goyah dan pada akhirnya terhenti. Bila ada yang harus disalahkan itu adalah aku. Bukan mereka dan juga bukan mereka yang memandangku sinis.
          Denting waktu mengingatkanku bahwa aku harus menyelesaikan tugasku yang menumpuk jika tidak segera diselesaikan. Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit dan pada akhirnya bisa roboh menimpaku. Raungan sang waktu kembali terdengar. Aku kembali terbangun, melihat si panjang telah menempati angka sepuluh, sedangkan si kecil menuju angka satu. Sementara itu, si merah terus berputar mengitari angka demi angka. Kenapa mereka tak pernah lelah untuk bekerja sehari semalam. Sementara aku begitu lelah. Aku baru tau jika ada baterai yang menjadi bahan bakar dan berkoordinasi dengan mesin waktu untuk menggerakkan jarum waktu. Lalu, apakah bateraiku lemah? Atau mesinnya yang rusak karena bekerja terus-menerus?
          Menunda. Kata yang sangat ingin kuhindari. Menunda adalah hal yang membuat tugas-tugasku semakin bertumpuk dan tak terselesaikan. Kata yang paling tepat untuk melawan kata ini adalah memulai. Dan tindakan nyata untuk mewujudkannya adalah kata mulai itu sendiri. Aku harus memerangi musuh terbesarku. Menahan beban berat berupa rasa kantuk yang menempel di kelopak mata. Segelas Theobroma cacao telah mengalir dengan lembut di kerongkongkan dengan gerakan peristaltik dan bermuara pada sfingter cardio. Senyawa yang masuk bereaksi yang mengakibatkan asam lambungku menurun dan berbanding terbalik dengan kadar kafein yang terkandung di dalamnya yang membuat kerja sistem sarafku meningkat. Efeknya rasa kantuk perlahan memudar dan indera penglihatanku terbuka.
          Kertas laporan praktikum yang tergeletak di atas meja belajar berukuran 60x100 cm menungguku untuk segera menyentuhnya. Bolpoin merk pengemudi pesawat terbang juga seolah-olah memanggilku untuk segera merangkai kata di atas kertas yang masih putih bersih. Hanya ada bingkai garis berukuran 4433 dari pensil yang menghiasi. Jemari ini tergerak untuk membuka tutup bolpoin dan mulai menggoreskan tinta hitam. Memulai. Akhirnya kata itu muncul lagi.
          Kata demi kata terangkai menjadi kalimat. Kalimat demi kalimat tersusun menjadi paragraf. Alinea-alinea baru pun terus terbentuk. Sambil membaca refrensi dari buku perpustakaan kususun laporan praktikumku. Targetku sebelum adzan shubuh berkumandang aku telah menyelesaikan tugasku. Kulirik sang waktu, si panjang telah berotasi dua kali dan si pendek sekarang menuju angka tiga. Dan si merah masih bersemangat mengitari angka demi angka. Kuputuskan untuk berhenti menulis. Kedua kaki ini tergerak untuk melangkah menuju keluar kamar.
          Bintang-bintang berhamburan di langit malam bak permadani bertabur cahaya keemasan. Si bulan senang karena malam ini ia tidak kesepian. Ada kawanan bintang yang menemaninya. Di bawah langit malam aku merasa iri pada si bulan,  dia ditemani oleh bintang-bintang. Sementara aku disini hanya sendiri. Aku juga ingin ditemani oleh kawan-kawanku. Rindu pun menelusup ke relung hati. Ada bias kerinduan yang muncul ke permukaan hati. Rekaman kenangan masa lalu pun terputar kembali. Sebelum berlanjut terlalu jauh maka aku segera meng-cut video yang terlanjur terbuka.
          Guyuran air kran memberikan stimulus pada saraf yang ada di bawah permukaan kulit untuk diteruskan ke otak. Beberapa detik kemudian kurasakan rasa dingin merasuk ke tubuhku. Dinginnya air tak menyurutkan semangatku untuk mengambil wudhu. Sepertiga malam terakhir menjadi momen paling kutunggu untuk melepas penat atas kesibukan yang terus menderaku dan menuangkan segala kegundahaanku. Dia adalah tempat paling nyaman bagiku untuk menyandarkan segala beban ini. Dia juga menjadi tempat paling aman untuk berbagi cerita. Awalnya aku terbangun karena terpaksa melaksanakan amanat ibu untuk tak lupa melaksanakan shalat tahajud dan bermunajad padaNya. Namun, seiring berjalannya waktu aku merasa kegiatan ini adalah suatu kebutuhan. Tidak hanya komputer yang butuh untuk di-refresh, tapi otak dan jiwaku juga butuh untuk direfresh. Bagiku cara merefresh otak dan jiwa adalah bertemu denganNya disepertiga malam terakhir. Aku merasakan ketenangan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
          Malam ini kusampaikan perasaan yang sedang kuhadapi padaNya. Tentang semangatku yang mudah menguap seperti minyak atsiri yang ditempatkan pada tempat terbuka. Akhir-akhir ini aku merasa semangatku semakin menurun ketika aku berada di antara mereka. Mereka yang menganggapku sesuatu yang tidak biasa. Aneh. Selalu membuat mereka bertanya-tanya. Dan berulang kali aku gagal menjawab pertanyaan mereka.
          Kututup curahan perasaanku dengan mengucap syukur padaNya karena selalu bersedia mendengar keluh kesahku. Tak berapa lama kemudian, terdengar suara adzan bergema dari laptop. Kulanjutkan berdiri untuk melaksanakan sholat shubuh.
          Fajar pun datang membawa harapan baru. Setiap pagi tiba selalu ada harapan baru. Waktu adalah modal manusia untuk hidup. Selama waktu bergulir selam itu pula harapan selalu ada. Aku pun berpendapat seperti itu. Akhirnya kutemukan semangatku kembali. Ternyata semangatku adalah kesempatan yang masih diberikan olehNya. Waktu.
          Aku tak lagi peduli dengan mereka yang menganggapku aneh. Aku memang aneh. Aku terlahir sebagai seorang yang normal. Namun, kedua orang tuaku bisu tuli. Mereka menyandang bisu tuli sejak lahir. Akan tetapi hanya fisik mereka yang cacat, hati mereka begitu baik. Mereka memberikan kasih sayang penuh kepadaku. Mengajariku arti kehidupan dan pentingnya bersyukur serta menghargai anugerah hidup yang diberikan olehNya.
          Mereka yang menganggapku aneh itu sebenarnya hanya belum paham bahwa ada sesuatu yang bisa menjelaskan bahwa hal ini bukanlah sesuatu yang tabu. Inilah yang aku pelajari pada studiku di perguruan tinggi. Ada ilmu yang bisa menjelaskannya yaitu Genetika. Ilmu genetika merupakan ilmu yang mempelajari tentang pewarisan sifat pada makhluk hidup. Ada hukum yang dinamakan hukum Mendell. Pada hukum Mendell terjadi penyimpangan yang salah satunya adalah modifikasi epistasi resesif rangkap. Akan tetapi, aku tak bisa menjelaskan hal tersebut kepada mereka sehingga mereka bisa memahaminya.
          Kejadian ini memberi pelajaran penting bagiku. Kita boleh paham mengenai sesuatu hal, dalam hal ini ilmu. Namun, ilmu itu akan sia-sia apabila kita tidak bisa memberi kepahaman kepada orang lain tentang ilmu tersebut. Sehingga ilmu tersebut terus hidup dan tidak hilang ditelan waktu. Satu hal lagi, mungkin  kita mudah untuk menjelaskan suatu pengetahuan kepada orang yang berpendidikan, namun kita akan menemui kesulitan ketika menjelaskan kepada mereka yang berpendidikan rendah. Padahal kita tak selalu berhubungan dengan orang yang berpendidikan. Ada kalanya kita juga berhadapan dengan masyarakat yang berpendidikan rendah. Seperti masyarakat di sekitar tempat tinggalku.
          Sekali lagi ini bukan salah mereka. Akulah yang salah. Aku yang tahu namun tak bisa memberi tahu mereka sehingga mereka bisa memahaminya. Kedua orang tuaku juga tak bersalah. Mereka adalah kado terindah yang diberikan Tuhan untukku dalam hidup ini. Aku tak pernah menganggap mereka cacat, bagiku mereka sempurna. Meskipun secara fisik mereka cacat, namun mereka memiliki kesempurnan dalam memandang dan menghargai akan anugerah waktu yang diberikan Tuhan untuk mereka. Mereka bersyukur atas kesempatan hidup yang telah diberikan Tuhan kepada mereka. Untuk itu mereka ingin memanfaatkan kesempatan dengan sebaik mungkin. Salah satunya menyanyangi dan menjaga titipan Tuhan. Putri semata wayang mereka.
          Sinar mentari pagi menerobos ke celah jendela kamarku. Rupanya aku tertidur lagi setelah menyelesaikan laporan praktikumku. Kupandang sekitar kamarku. Buku-buku refrensi, kertas F4, dan lembaran-lembaran fotokopian materi kuliah berserakan di bawah lantai. Lantai ubin berbentuk jajar genjang yang berwana putih pun jadi tak terlihat. Kulirik sang waktu yang duduk di atas meja belajarku. Si panjang berhenti di angka enam dan di pendek menuju angka tiga. Sementara si merah terus mengitari angka-angka. Aku juga tak mau kalah dengan mereka. Aku harus bergerak. Kertas-kertas dan buku yang berserakan segera kurapikan dan bersiap menuju tempat yang dua tahun ini selalu kudatangi.
          Waktu memang akan terus berjalan. Kita tak tau apa yang akan terjadi pada waktu yang akan datang. Semua masih abu-abu. Percampuran antara hitam dan putih. Tak perlu merisaukan apakah warna putih atau warna hitam yang nantinya akan lebih dominan. Hitam dalam artian kenyataan buruk yang terjadi atau putih dalam artian kenyataan baik yang terjadi. Biarlah semua terjadi sesuai kehendakNya. Bagiku yang terpenting adalah berbuat yang terbaik semaksimal mungkin karena Tuhan masih memberikan kesempatan untuk hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar