Jangan Takut
Memilih
Apakah
kamu pernah dalam keadaan harus memilih satu diantara dua pilihan? Pasti.
Setiap orang yang hidup di dunia ini pasti pernah mengalaminya. Karena hidup
adalah pilihan. Setiap saat kita dihadapkan dalam pilihan. Hal tersebut seringkali
tidak kita sadari, namun sebenarnya selalu kita hadapi. Hidup menyajikan
pilihan yang harus kita pilih.
***
Senja
yang indah. Aku suka panorama senja. Saat Sang Raja Hari perlahan kembali tidur
ke peraduannya. Semburat warna jingga menghiasi dinding angkasa yang semula
berwarna biru. Diiringi kawanan burung yang terbang untuk kembali menuju
sarangnya. Mereka puas dengan tembolok yang penuh oleh makanan. Seharian mereka
telah berjuang mencari rezekiNya. Dia selalu menepati janjiNya. Bagi siapa yang
mencari rezekiNya, maka Dia akan memberi rezekiNya.
Posisi
kamarku yang strategis membuatku bisa mengamati indahnya panorama senja.
Kamarku langsung menghadap balkon. Darisini aku bisa melihat keadaan di sekitar
kost. Biasanya aku berdiri didekat pagar setinggi pinggang dan membiarkan angin
sore berhembus menerpa wajah dan permukaan kedua tanganku. Kuedarkan
pandanganku ke arah matahari terbenam. Terdengar adzan magrib bergema dari
masjid di komplek perumahan kostku berada. Kupejamkan mataku sambil mendengarkan
lafadz adzan yang dikumandangkan oleh sang muadzin. Suara yang merdu.
Menyejukkan jiwa yang penat oleh kesibukan sehari ini. Kucoba lepaskan semua
beban fikiran yang menyita waktuku. Menarik nafas dan menghembuskannya
perlahan.
Kaki
ini tergerak melangkah menuju tempat wudhu yang berada di dekat kamar mandi.
Guyuran air yang jatuh pada permukaan kulit membangunkan syaraf-syarafku yang
beku oleh padatnya aktivitas hari ini. Aku merasa terlalu asyik dengan
aktivitasku. Disisi lain, aku juga merasa ada sesuatu yang hilang. Terselip
rasa hampa dan kosong. Fikiranku terus bekerja, namun jiwaku melayang jauh
entah kemana. Mungkin mencari tempat asalnya.
Ketika
tanganku mengambil mukena putihku, tiba-tiba terdengar dering telfon dari handphone-ku. Aku segera memakai
mukenaku. Beberapa saat kemudian terdengar lafadz takbir. Aku hanyut dalam
dialog interaktif denganNya. Tak ingin menunda bertanya jawab denganNya. Inilah
waktu untuk mengistirahatkan fikiran dan jiwa dari kesibukan seharian ini.
***
Malam
menyapa dengan hadirnya bintang-bintang di langit hitam. Bak permadani hitam
bertabur emas. Bulan pun tidak kesepian ditemani oleh bintang-bintang. Tak
sepertiku yang tiada berkawan. Ketika malam datang, pulpen dan kertas A4 telah
menunggu di atas meja belajarku. Mereka seolah memanggil-manggilku untuk
disentuh. Namun, aku masih malas untuk berinteraksi dengan mereka berdua. Aku
mendengar teriakan cacing-cacing di perut lebih nyaring meminta pasokan
nutrisi. Akhirnya, aku lebih memilih keluar untuk membeli makan. Sebelum
beranjak pergi, dering telfon kembali terdengar.
“Kamu
sibuk ya?”
“Wa’alaikumsalam..”
“Eh,
iya.. assalamu’alaikum, kamu lagi sibuk sekarang?”
“Wa’alaikumsalam,
tadi ada panggilan lain yang datang lebih dulu.”
“Kamu
bisa datang ke party pajak jadiannya
Pamela?”
“Maaf
aku nggak bisa.”
“Ah,
kamu nggak asyik Ca.”
Klik!
-Sambungan terputus-
Aku
bingung dengan keadaanku sendiri. Seringkali melawan sisiku yang lain. Perang
batin. Merasa ada yang salah. Apakah aku harus mengikuti sesuatu yang salah?
Tidak bolehkah aku memilih sesuai yang menurutku benar? Bukankah setiap orang
memiliki hak untuk memilih? Tapi saat pilihanku berbeda dengan yang lain,
kenapa menuai banyak protes dari yang lain? Entahlah, aku tak mau tahu lagi.
Aku hanya ingin memilih apa yang menurutku benar. Selama pilihanku adalah hal
yang menurutku benar, maka aku tak mau ambil pusing dengan respon mereka.
Tak
ingin merusak suasana hatiku, aku pun segera keluar untuk mencari makan karena
panggilan dari dalam perutku tak bisa lagi ditolerir. Suasana jalan tak jauh
beda dengan fikiranku saat ini. Padat merayap dengan kendaraan yang memenuhi
jalanan. Lampu jalan menyemarakkan keramaian jalan. Hiruk pikuk di sepanjang
jalan tak mampu membuatku tergoda untuk menyatu dengan mereka.
***
Tidur
belum nyenyak, aku harus terbangun. Seolah berlomba dengan bangunnya mentari
pagi. Sebelum hangatnya sinar mentari pagi semakin terasa, aku segera
meninggalkan kamar kost. Seorang loper koran melempar koran ke arah teras rumah
kost tepat ketika aku membuka pintu. Sejenak kuluangkan waktuku untuk membaca
koran pagi ini. Sorot mataku langsung tertuju pada kolom headline hari ini. Aku nyaris tak percaya dengan yang kubaca.
“Bermaksud
party, malah tertusuk belati. Pamela
(20), seorang mahasiswa yang sedang merayakan pajak jadian, akhirnya jadi
korban penusukan. Pelaku ditengarai adalah mantan kekasih dari pacar baru
Pamela. Ironi ketiga teman korban yang ikut dalam pesta malam itu terkena imbas
dengan terkena goresan tajamnya belati sang pelaku. Pelaku mengaku dendam
dengan korban karena masih menyukai mantan kekasihnya. Lanjut halaman 17..”
Entah,
aku harus berduka atau bersyukur. Disatu sisi aku berduka karena teman-temanku
mendapat musibah semalam. Namun, disisi lain aku bersyukur karena semalam
memutuskan untuk menolak ajakan dari temanku sehingga terhindar dari bahaya.
Sebenarnya, aku masih bertanya pada diriku sendiri, apakah langkahku sudah
benar? Ada perasaan bersalah dan beban sosial kepada teman-temanku. Aku merasa
jadi teman yang paling buruk. Aku ingin memperbaiki diri, tapi aku tak mau
memperbaiki teman-temanku. Seharusnya aku mengingatkan mereka. Penyesalan
memang selalu datang di akhir.
Pamela.
Dia temanku sejak sekolah menengah atas. Gadis cantik yang digandrungi para adam.
Namun, sayang paras cantiknya mengundang petaka. Dia dimusuhi para gadis
lainnya. Aku dan Pamela bagaikan gula dan semut. Dimana ada Pamela, disana ada
aku. Akhir-akhir ini, aku menjauh darinya. Bukan maksudku untuk menjauh
darinya. Tapi, aku ingin introspeksi diri dan berharap bisa menjadi teman yang
baik untuknya. Pamela yang sekarang bukanlah Pamela yang kukenal dulu. Semenjak
kuliah, dia jadi agresif, konsumtif dan suka hang out hingga larut malam. Pamela tak lagi pemalu. Padahal dulu
dia kurang percaya diri, meskipun parasnya cantik. Dia juga jadi suka
jalan-jalan dan belanja barang-barang branded
dengan teman-teman barunya. Tak jarang aku diajak. Beberapa kali aku
mengikuti mereka karena Pamela memaksaku. Pamela malu memakai baju, aksesori
atau sepatu yang tidak setara dengan teman-teman barunya. Satu lagi, sekarang
Pamela hobi hang out dan parahnya
hingga larut malam. Dan puncaknya adalah tadi malam. Pamela mengadakan party untuk pajak jadian dia dengan
kekasih barunya. Hingga nasib tragis menimpanya. Aku masih tak habis fikir. Aku
tak mengenal siapa Pamela yang sekarang. Dia benar-benar telah berubah.
Usai
kuliah, aku bergegas menuju rumah sakit untuk menjenguk Pamela. Sahabatku itu
terkulai tak berdaya di atas ranjang rumah sakit kelas VVIP. Kedua orang tua
Pamela keluar meninggalkan aku dan Pamela di ruang perawatan.
“Maaf..”
Aneh. Kami berdua mengucapkan kata yang sama
secara bersamaan.
“Maaf
untuk apa Mel?”
“Maaf
karena aku tak mendengar nasehatmu.”
“Justru
aku yang harusnya minta maaf. Aku bukan teman yang baik untukmu. Aku terlalu
egois dan aku malah menjauhimu. Aku..”
“Kamu
teman terbaikku Ca, aku tahu kamu menjauhiku karena kamu ingin aku sadar bahwa
aku telah kehilangan sahabat terbaikku. Ternyata aku..”
“Mel,
kita harus saling mengingatkan ya. Kamu tinggalkan kebiasaanmu yang suka beli
barang branded dan hobi keluar malam
dengan teman-temanmu ya?”
“
Aku udah nggak berteman lagi dengan mereka. Mereka yang mengenalkanku pada gaya
hidup itu. Kamu mau kan bantu aku Ca?”
“Pasti.”
“Jangan
jauhi aku lagi ya Ca, aku bingung harus curhat ke siapa. Kamu teman curhat
paling nyaman dan bijaksana bagiku. Katakan aja langsung kalau ada salah
padaku. Jangan malah menjauhiku, aku butuh teman berbagi untuk memilih dan
memutuskan sesuatu.”
“Iya,
kemarin aku menjauh untuk introspeksi diri, mungkin aku yang salah. Bukan
maksudku ingin menjauhimu. Aku hanya merasa ada yang salah denganku.”
“Kita
introspeksi bareng-bareng ya?”
“Baiklah.”
***
Pilihan
yang kita pilih tak selalu benar. Tapi, kita harus tetap memilih sesuatu yang
menurut kita paling benar. Tak perlu takut dengan respon orang lain. Hidup
memang tak selalu dalam kenyamanan. Kita yang berusaha mencari kenyamanan
dengan pilihan kita.