My Best Friend

Minggu, 04 Oktober 2015

Jangan Takut Memilih


Jangan Takut Memilih

          Apakah kamu pernah dalam keadaan harus memilih satu diantara dua pilihan? Pasti. Setiap orang yang hidup di dunia ini pasti pernah mengalaminya. Karena hidup adalah pilihan. Setiap saat kita dihadapkan dalam pilihan. Hal tersebut seringkali tidak kita sadari, namun sebenarnya selalu kita hadapi. Hidup menyajikan pilihan yang harus kita pilih.
***
          Senja yang indah. Aku suka panorama senja. Saat Sang Raja Hari perlahan kembali tidur ke peraduannya. Semburat warna jingga menghiasi dinding angkasa yang semula berwarna biru. Diiringi kawanan burung yang terbang untuk kembali menuju sarangnya. Mereka puas dengan tembolok yang penuh oleh makanan. Seharian mereka telah berjuang mencari rezekiNya. Dia selalu menepati janjiNya. Bagi siapa yang mencari rezekiNya, maka Dia akan memberi rezekiNya.
          Posisi kamarku yang strategis membuatku bisa mengamati indahnya panorama senja. Kamarku langsung menghadap balkon. Darisini aku bisa melihat keadaan di sekitar kost. Biasanya aku berdiri didekat pagar setinggi pinggang dan membiarkan angin sore berhembus menerpa wajah dan permukaan kedua tanganku. Kuedarkan pandanganku ke arah matahari terbenam. Terdengar adzan magrib bergema dari masjid di komplek perumahan kostku berada. Kupejamkan mataku sambil mendengarkan lafadz adzan yang dikumandangkan oleh sang muadzin. Suara yang merdu. Menyejukkan jiwa yang penat oleh kesibukan sehari ini. Kucoba lepaskan semua beban fikiran yang menyita waktuku. Menarik nafas dan menghembuskannya perlahan.
          Kaki ini tergerak melangkah menuju tempat wudhu yang berada di dekat kamar mandi. Guyuran air yang jatuh pada permukaan kulit membangunkan syaraf-syarafku yang beku oleh padatnya aktivitas hari ini. Aku merasa terlalu asyik dengan aktivitasku. Disisi lain, aku juga merasa ada sesuatu yang hilang. Terselip rasa hampa dan kosong. Fikiranku terus bekerja, namun jiwaku melayang jauh entah kemana. Mungkin mencari tempat asalnya.
          Ketika tanganku mengambil mukena putihku, tiba-tiba terdengar dering telfon dari handphone-ku. Aku segera memakai mukenaku. Beberapa saat kemudian terdengar lafadz takbir. Aku hanyut dalam dialog interaktif denganNya. Tak ingin menunda bertanya jawab denganNya. Inilah waktu untuk mengistirahatkan fikiran dan jiwa dari kesibukan seharian ini.
***
          Malam menyapa dengan hadirnya bintang-bintang di langit hitam. Bak permadani hitam bertabur emas. Bulan pun tidak kesepian ditemani oleh bintang-bintang. Tak sepertiku yang tiada berkawan. Ketika malam datang, pulpen dan kertas A4 telah menunggu di atas meja belajarku. Mereka seolah memanggil-manggilku untuk disentuh. Namun, aku masih malas untuk berinteraksi dengan mereka berdua. Aku mendengar teriakan cacing-cacing di perut lebih nyaring meminta pasokan nutrisi. Akhirnya, aku lebih memilih keluar untuk membeli makan. Sebelum beranjak pergi, dering telfon kembali terdengar.
          “Kamu sibuk ya?”
          “Wa’alaikumsalam..”
          “Eh, iya.. assalamu’alaikum, kamu lagi sibuk sekarang?”
          “Wa’alaikumsalam, tadi ada panggilan lain yang datang lebih dulu.”
          “Kamu bisa datang ke party pajak jadiannya Pamela?”
          “Maaf aku nggak bisa.”
          “Ah, kamu nggak asyik Ca.”
Klik!
-Sambungan terputus-
          Aku bingung dengan keadaanku sendiri. Seringkali melawan sisiku yang lain. Perang batin. Merasa ada yang salah. Apakah aku harus mengikuti sesuatu yang salah? Tidak bolehkah aku memilih sesuai yang menurutku benar? Bukankah setiap orang memiliki hak untuk memilih? Tapi saat pilihanku berbeda dengan yang lain, kenapa menuai banyak protes dari yang lain? Entahlah, aku tak mau tahu lagi. Aku hanya ingin memilih apa yang menurutku benar. Selama pilihanku adalah hal yang menurutku benar, maka aku tak mau ambil pusing dengan respon mereka.
          Tak ingin merusak suasana hatiku, aku pun segera keluar untuk mencari makan karena panggilan dari dalam perutku tak bisa lagi ditolerir. Suasana jalan tak jauh beda dengan fikiranku saat ini. Padat merayap dengan kendaraan yang memenuhi jalanan. Lampu jalan menyemarakkan keramaian jalan. Hiruk pikuk di sepanjang jalan tak mampu membuatku tergoda untuk menyatu dengan mereka.
***
          Tidur belum nyenyak, aku harus terbangun. Seolah berlomba dengan bangunnya mentari pagi. Sebelum hangatnya sinar mentari pagi semakin terasa, aku segera meninggalkan kamar kost. Seorang loper koran melempar koran ke arah teras rumah kost tepat ketika aku membuka pintu. Sejenak kuluangkan waktuku untuk membaca koran pagi ini. Sorot mataku langsung tertuju pada kolom headline hari ini. Aku nyaris tak percaya dengan yang kubaca.
          “Bermaksud party, malah tertusuk belati. Pamela (20), seorang mahasiswa yang sedang merayakan pajak jadian, akhirnya jadi korban penusukan. Pelaku ditengarai adalah mantan kekasih dari pacar baru Pamela. Ironi ketiga teman korban yang ikut dalam pesta malam itu terkena imbas dengan terkena goresan tajamnya belati sang pelaku. Pelaku mengaku dendam dengan korban karena masih menyukai mantan kekasihnya. Lanjut halaman 17..”
          Entah, aku harus berduka atau bersyukur. Disatu sisi aku berduka karena teman-temanku mendapat musibah semalam. Namun, disisi lain aku bersyukur karena semalam memutuskan untuk menolak ajakan dari temanku sehingga terhindar dari bahaya. Sebenarnya, aku masih bertanya pada diriku sendiri, apakah langkahku sudah benar? Ada perasaan bersalah dan beban sosial kepada teman-temanku. Aku merasa jadi teman yang paling buruk. Aku ingin memperbaiki diri, tapi aku tak mau memperbaiki teman-temanku. Seharusnya aku mengingatkan mereka. Penyesalan memang selalu datang di akhir.
          Pamela. Dia temanku sejak sekolah menengah atas. Gadis cantik yang digandrungi para adam. Namun, sayang paras cantiknya mengundang petaka. Dia dimusuhi para gadis lainnya. Aku dan Pamela bagaikan gula dan semut. Dimana ada Pamela, disana ada aku. Akhir-akhir ini, aku menjauh darinya. Bukan maksudku untuk menjauh darinya. Tapi, aku ingin introspeksi diri dan berharap bisa menjadi teman yang baik untuknya. Pamela yang sekarang bukanlah Pamela yang kukenal dulu. Semenjak kuliah, dia jadi agresif, konsumtif dan suka hang out hingga larut malam. Pamela tak lagi pemalu. Padahal dulu dia kurang percaya diri, meskipun parasnya cantik. Dia juga jadi suka jalan-jalan dan belanja barang-barang branded dengan teman-teman barunya. Tak jarang aku diajak. Beberapa kali aku mengikuti mereka karena Pamela memaksaku. Pamela malu memakai baju, aksesori atau sepatu yang tidak setara dengan teman-teman barunya. Satu lagi, sekarang Pamela hobi hang out dan parahnya hingga larut malam. Dan puncaknya adalah tadi malam. Pamela mengadakan party untuk pajak jadian dia dengan kekasih barunya. Hingga nasib tragis menimpanya. Aku masih tak habis fikir. Aku tak mengenal siapa Pamela yang sekarang. Dia benar-benar telah berubah.
          Usai kuliah, aku bergegas menuju rumah sakit untuk menjenguk Pamela. Sahabatku itu terkulai tak berdaya di atas ranjang rumah sakit kelas VVIP. Kedua orang tua Pamela keluar meninggalkan aku dan Pamela di ruang perawatan.
          “Maaf..”
Aneh. Kami berdua mengucapkan kata yang sama secara bersamaan.
          “Maaf untuk apa Mel?”
          “Maaf karena aku tak mendengar nasehatmu.”
          “Justru aku yang harusnya minta maaf. Aku bukan teman yang baik untukmu. Aku terlalu egois dan aku malah menjauhimu. Aku..”
          “Kamu teman terbaikku Ca, aku tahu kamu menjauhiku karena kamu ingin aku sadar bahwa aku telah kehilangan sahabat terbaikku. Ternyata aku..”
          “Mel, kita harus saling mengingatkan ya. Kamu tinggalkan kebiasaanmu yang suka beli barang branded dan hobi keluar malam dengan teman-temanmu ya?”
          “ Aku udah nggak berteman lagi dengan mereka. Mereka yang mengenalkanku pada gaya hidup itu. Kamu mau kan bantu aku Ca?”
          “Pasti.”
          “Jangan jauhi aku lagi ya Ca, aku bingung harus curhat ke siapa. Kamu teman curhat paling nyaman dan bijaksana bagiku. Katakan aja langsung kalau ada salah padaku. Jangan malah menjauhiku, aku butuh teman berbagi untuk memilih dan memutuskan sesuatu.”
          “Iya, kemarin aku menjauh untuk introspeksi diri, mungkin aku yang salah. Bukan maksudku ingin menjauhimu. Aku hanya merasa ada yang salah denganku.”
          “Kita introspeksi bareng-bareng ya?”
          “Baiklah.”
***
          Pilihan yang kita pilih tak selalu benar. Tapi, kita harus tetap memilih sesuatu yang menurut kita paling benar. Tak perlu takut dengan respon orang lain. Hidup memang tak selalu dalam kenyamanan. Kita yang berusaha mencari kenyamanan dengan pilihan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar