My Best Friend

Senin, 17 Juni 2013

Memetik Bintang Senja



Memetik Bintang Senja
By: Ayu (Upik Rara)
            Kehidupan kampus di Universitas Jember merupakan kehidupan yang kompleks. Klimaksnya terjadi dibulan ini. Bulan Mei. Bulan yang bias dibilang bulan yang penuh harapan sekaligus bulan yang menyibukkan. Dikatakan bulan yang penuh harapan karena diakhir bulan ini aka ada minggu tenang sebelum ujian akhir semester dilaksanakan. Dimana momen ini menjadi momen pulang kampong bagi para mahasiswa, terutama bagi mereka yang berasal dari luar kota. Sedangkan dikatakan bulan yang menyibukkan karena dibulan ini ada tugas-tugas tambahan dari dosen, yang salah satunya menjadi syarat untuk bisa mengikuti ujian akhir semester. Selain itu, dibulan ini pula akan diadakan responsi dari serangkaian praktikum yang telah dilakukan, terutama bagi mahasiswa fakultas MIPA, khususnya bagi mahasiswa jurusan Biologi.
            Kuliah menjadi kegiatan utama mahasiswa di kampus. Mikrobiologi menjadi salah satu mata kuliah wajib yang harus diambil oleh mahasiswa jurusan Biologi disemester genap, terutama bagi mahasiswa yang sedang menempuh semester dua. Selain kegiatan perkuliahan, ada pula kegiatan praktikum untuk menunjang pemahaman dan softskill mahasiswa. Mahasiswa pun wajib mengikuti serangkaian kegiatan praktikum tersebut tanpa terkecuali.
            Sore ini, ada praktikum Mikrobiologi tentang isolasi dan penanaman mikrob. Hari ini agenda yang dilakukan adalah proses pengisolasian dan penanaman mikrob, namun selanjutnya akan diadakan pengamatan makroskopis untuk mikrob yang telah tumbuh dari proses tersebut. Selesai mengikuti praktikum, kedua kaki ini  segera melangkah menuju pelataran depan fakultas MIPA. Di bawah sebuah pohon Filicium sp. kuterduduk. Ada sebuah jalan setapak berbata merah tepat di bawah pohon tersebut. Beberapa orang berlalu-lalang melewati jalan setapak tersebut. Tak kuhiraukan mereka. Sekarang fikiranku melayang ke suatu tempat yang penuh kedamaian. Setengah jam berlalu tak kulihat sosok yang semenjak tadi telah kutunggu kedatangannya untuk mengantarkanku ke tempat tersebut. Menunggu memang hal yang paling tidak kusukai. Banyak hal yang harusnya bisa kulakukan daripada menunggu. Kesabaranku mulai terkikis oleh waktu. Hampir saja kumenyerah, akan tetapi setangkai helaian daun Filicium sp. yang gugur di dekatku menyadarkanku akan betapa besarnya kesabaran mereka. Mereka selalu bertahan dan terus berharap akan turunnya hujan untuk menumbuhkan daun-daun muda. Filosofi pohon memang indah. Batang pohon selalu setia walaupun daun akan gugur meninggalkan mereka dimusim kemarau. Batang pohon akan terus berdiri kokoh dan akan bersemi ketika musim penghujan telah datang.
            Tangan kanan ini tergerak untuk mengambil sehelai daun Filicium sp. yang terjatuh didekat kaki kananku. Terlihat tepi daunnya bergelombang dengan ujung meruncing. Ada filosofi yang penuh makna, dimana bentuk tepid an ujung daun tersebut menunjukkan bahwa untuk menuju suatu titik (cita-cita) maka kita harus terlebih dahulu melewati jalan yang tidak mulus atau bergelombang. Oleh karena itu dibutuhkan usaha keras untuk meraih cita-cita. Seperti yang sedang kulakukan sekarang, berjuang untuk mewujudkan cita-citaku.
            Disaat masa penantian, kucoba mengamati jalanan di depan fakultas MIPA yang mulai ramai oleh orang-orang yang ingin pulang karena telah tiba waktu pulang bagi para mahasiswa dan juga bagi para karyawan dan dosen. Pandanganku tiba-tiba teralihkan kepada sosok bersepeda ontel. Sosok itu adalah seorang ibu paruh baya yang sedang mengayuh sepeda sambil membawa barang di boncengan dan di stir sepedanya. Selain itu, ada juga barang di atas kepalanya. Perlahan sosok itu semakin mendekat ke arahku dan berhenti di depanku.Ibu paruh baya itu mengurangi kecepatan sepedanya dengan menekan rem di stir sepedanya dengan jemari tangan kanannya. Sementara jemari tangan kirinya memegang barang di atas kepalanya agar tidak terjatuh. Setelah sepedanya berhenti dengan ditandai berhentinya roda ban sepeda, ibu paruh baya itu segera turun dari sadel sepedanya. Aku pun beranjak dari posisi dudukku untuk membantu si ibu tersebut turun dari sepeda dengan cara mengambil barang diatas kepalanya.
            “Maaf bu, sini biar saya bantu!”
            “Iya, terima kasih Dik.”
            Ibu paruh baya tersebut turun dari sepedanya.
            “Ibu darimana dan mau kemana?”
            “Ini dari keliling dek, ibuk jualan, adik mau beli?”
            “Memangnya ibu jualan apa?” tanyaku sambil melihat barang dagangan si ibu yang sedang kupegang.
            “Kalau itu kue Dik. Silahkan dipilih!”
            Si ibu membuka sebuah kotak yang sedeng kupegang dengan kedua tangannya, sementara sepedanya disandarkan pada pinggangnya.
            “Wah, jajanan pasar Bu. Berapa ini harganya Bu?”
            “Murah kok Dik. Cuma seribu perbiji.”
            “Buat sendiri ini kuenya Bu?”
            Aku mencoba memilih kue-kue dagangan si ibu tersebut.
            “Iya Dik. Kebetulan ada putri ibu yang membantu membuatnya.”
            “Ya udah, saya beli semua kue lapis dan kue onde-ondenya Bu.”
“Oiya Dik, semua ya, sebentar ibu cari bungkusnya.”
Si ibu membuka tas kecil yang diletakkan di stir sepedanya. Lalu, ibu itu mengeluarkan kotak kecil yang terbuat dari anyaman bambu. Di dalamnya terdapat selembar alas pada dasar kotak tersebut berupa daun pisang yang masih muda. Sambil si ibu membungkus kue kubuka suara.
“Putri ibu sudah besar yak ok sudah bias membantu ibu membuat kue?”
“Sepertinya seusia dengan adik sekarang. Dia juga masih kuliah sekarang.”
“Kuliah disini Bu?”
“Di Surabaya Dik. Dia dapat beasiswa. Jadi, meringankan beban ibu. Tapi sebenarnya itu bukan beban karena memang kewajiban orang tua untuk mewujudkan cita-cita putra-putrinya.”
Tiba-tiba aku merasa kagum kepada ibu dihadapanku ini. Setelah mendengar penuturan ibu itu tentang kebijakan pandangannya tentang kewajiban orang tua, aku yakin jika kecerdasan putrinya adalah warisan darinya. Hal tersebut sesuai dengan teori pewarisan sifat dimana sifat keturunan akan sesuai dengan induknya atau orang tuanya. Jika induknya baik maka keturunannya akan baik dan begitu pula berlaku sebaliknya.
“Ini Dik, kue lapisnya ada empat dan kue onde-ondenya ada enam. Jadi, semuanya sepuluh ribu?”
“Iya, ini uangnya Bu.”
Aku menyerahkan selembar uang kertas bergambar Sultan Mahmud Badaruddin II.
“Terima kasih ya Dik.”
“Sama-sama Bu, salam ya buat putri ibu.”
“Iya Dik, nanti ibu sampaikan.”
‘Oiya Bu, kalau putri ibu kuliah di Surabaya, kok bisa membantu ibu membuat kue?”
“Dia sekarang sedang liburan. Katanya minggu tenang sebelum ujian. Jadi, dia bisa bantu ibu untuk membuat kue. Sebenarnya ibu dilarang jualan kue karena uang kiriman hasil usaha jualan kuenya di Surabaya sudah mencukupi kebutuhan ibu dan adik laki-lakinya, yang sekarang duduk dibangku kelas dua SD. Dia di Surabaya punya usaha jualan kue jajanan pasar di kampus. Kebetulan dia sudah biasa membantu ibu membuat kue di rumah sejak kecil. Awalnya dia coba-coba untuk menutupi biaya hidupnya. Ternyata laku keras dan terus berkembang sampai sekarang. Tapi ibu merasa tubuh ibu jadi sakit semua kalau tidak bekerja. Jadi ibu kembali berjualan. Lagipula uang penghasilannya dari jualan kue bisa ditabung untuk masa depannya nanti.”
Betapa mulianya hati si ibu yang tulus ini. Kasih ibu memang sepanjang masa. Tiada yanglebih tulus dari kasih seorang ibu kepada anaknya. Tak terasa butiran bening menetes dari sudut mataku. Tiba-tiba bunyi dering ponselku memecah suasana.
“Ya. Wa’alaikumsalam.”
“Dimana kamu, Ra? Aku udah di depan fakultasmu nih. ”
“Iya, aku kesana sekarang.”
Kulirik sudut sebelah selatan jalan.Tampak seseorang yang kutunggu sedari tadi. Setelah berpamitan dan berjabat tangan sambil mencium punggung tangan kanan si ibu penjual kue, segera kulangkahkan kaki menuju orang yang baru saja menelponku.
“Lama banget sih, Ra?”
“Yee.., harusnya aku yang marah. Aku udah kayak bunga layu tau nungguin disini!”
“Hehe. Iya, maaf deh. Jadi mau pulang nggak nih?”
“Ya jadi dong. Enak aja aku udah nunggu lama. Sia-sia dong kalau nggak jadi.”
“”Ya udah, come on!”
“Nih, ada kue!”
“Kue? Kebetulan aku laper.”
“Kapan sih nggak kelaperan. Dasar perut karet!”
“Wah. Onde-onde kesukaanku. Thank you ya adikku sayang.”
“Hemm.., kalau ada maunya aja.”
“Iya deh, mau apa sih, nanti aku beliin?”
“Beneran?”
“Iya, adikku tersayang.”
“Ya udah, aku minta jangan jailin aku lagi, bisa nggak?”
“Wah, kalau itu sulit dan kayaknya nggak bisa.”
“Kenapa?”
“Udah hobi. Hehehe.”
“Hobi kok jailin adik sih, hobi yang aneh.”
“Habis aku alergi kalau nggak jailin kamu. Makanya kamu kan kuliah jurusan Biologi, coba deh buat antbiotik yang bisa menghambat virus jailku ke kamu. Hahahahaha.”
“Kenapa sih harus jail?”
“Sebenarnya itu tanda sayang Dik, kan seorang kakak harus menyayangi adiknya?”
“Nggak ada cara lain apa?”
“Enggak. Hehehe.”
“Ya udah, ayo pulang!”
Ok. Let’s go!”
Sore ini kudapat pelajaran berharga dari seorang ibu penjual kue yang begitu tulus menjalani kehidupan sebagai orang tua bagiputra-putrinya. Ternyata menunggu itu tidak selalu menyebalkan. Semua itu tergantung dari bagaimana cara kita menyikapinya. Apabila kita mengisi dengan hal-hal positif selama menunggu sesuatu maka saat-saat menunnggu kita akan terasa menyenangkan. Dan akan semakin membahagiakan ketika apa yang ditunggu telah datang. Bagaikan sambil menyelam minum air. Mendapatkan dua keuntungan.
Tepat saat si raja hari kembali ke peraduannya aku sampai di tempat penuh kedamaian. Tempat yang selalu kurindu. Suasana kehangatan bersama keluarga tercinta. Bercengkrama dan berkumpul dengan keluarga bak oase di gurun pasir. Hal tersebut sekarang menjadi hal yang langka bagiku. Minggu tenang memang belum dimulai, tapi aku pulang kampung terlebih dahulu. Hehehe. Menunggu awalnya adalanya sesuatu yang membosankan bagiku. Namun, hari ini menunggu bagiku sangat menyenangkan. So, waiting, why not?