Memetik Bintang Senja
By: Ayu (Upik Rara)
Kehidupan kampus di Universitas
Jember merupakan kehidupan yang kompleks. Klimaksnya terjadi dibulan ini. Bulan
Mei. Bulan yang bias dibilang bulan yang penuh harapan sekaligus bulan yang
menyibukkan. Dikatakan bulan yang penuh harapan karena diakhir bulan ini aka
ada minggu tenang sebelum ujian akhir semester dilaksanakan. Dimana momen ini
menjadi momen pulang kampong bagi para mahasiswa, terutama bagi mereka yang
berasal dari luar kota. Sedangkan dikatakan bulan yang menyibukkan karena
dibulan ini ada tugas-tugas tambahan dari dosen, yang salah satunya menjadi
syarat untuk bisa mengikuti ujian akhir semester. Selain itu, dibulan ini pula
akan diadakan responsi dari serangkaian praktikum yang telah dilakukan,
terutama bagi mahasiswa fakultas MIPA, khususnya bagi mahasiswa jurusan
Biologi.
Kuliah menjadi kegiatan utama
mahasiswa di kampus. Mikrobiologi menjadi salah satu mata kuliah wajib yang
harus diambil oleh mahasiswa jurusan Biologi disemester genap, terutama bagi
mahasiswa yang sedang menempuh semester dua. Selain kegiatan perkuliahan, ada
pula kegiatan praktikum untuk menunjang pemahaman dan softskill mahasiswa. Mahasiswa pun wajib mengikuti serangkaian
kegiatan praktikum tersebut tanpa terkecuali.
Sore ini, ada praktikum Mikrobiologi
tentang isolasi dan penanaman mikrob. Hari ini agenda yang dilakukan adalah
proses pengisolasian dan penanaman mikrob, namun selanjutnya akan diadakan
pengamatan makroskopis untuk mikrob yang telah tumbuh dari proses tersebut.
Selesai mengikuti praktikum, kedua kaki ini
segera melangkah menuju pelataran depan fakultas MIPA. Di bawah sebuah
pohon Filicium sp. kuterduduk. Ada
sebuah jalan setapak berbata merah tepat di bawah pohon tersebut. Beberapa
orang berlalu-lalang melewati jalan setapak tersebut. Tak kuhiraukan mereka.
Sekarang fikiranku melayang ke suatu tempat yang penuh kedamaian. Setengah jam
berlalu tak kulihat sosok yang semenjak tadi telah kutunggu kedatangannya untuk
mengantarkanku ke tempat tersebut. Menunggu memang hal yang paling tidak
kusukai. Banyak hal yang harusnya bisa kulakukan daripada menunggu. Kesabaranku
mulai terkikis oleh waktu. Hampir saja kumenyerah, akan tetapi setangkai
helaian daun Filicium sp. yang gugur
di dekatku menyadarkanku akan betapa besarnya kesabaran mereka. Mereka selalu
bertahan dan terus berharap akan turunnya hujan untuk menumbuhkan daun-daun
muda. Filosofi pohon memang indah. Batang pohon selalu setia walaupun daun akan
gugur meninggalkan mereka dimusim kemarau. Batang pohon akan terus berdiri
kokoh dan akan bersemi ketika musim penghujan telah datang.
Tangan kanan ini tergerak untuk
mengambil sehelai daun Filicium sp. yang
terjatuh didekat kaki kananku. Terlihat tepi daunnya bergelombang dengan ujung
meruncing. Ada filosofi yang penuh makna, dimana bentuk tepid an ujung daun
tersebut menunjukkan bahwa untuk menuju suatu titik (cita-cita) maka kita harus
terlebih dahulu melewati jalan yang tidak mulus atau bergelombang. Oleh karena
itu dibutuhkan usaha keras untuk meraih cita-cita. Seperti yang sedang kulakukan
sekarang, berjuang untuk mewujudkan cita-citaku.
Disaat masa penantian, kucoba
mengamati jalanan di depan fakultas MIPA yang mulai ramai oleh orang-orang yang
ingin pulang karena telah tiba waktu pulang bagi para mahasiswa dan juga bagi
para karyawan dan dosen. Pandanganku tiba-tiba teralihkan kepada sosok
bersepeda ontel. Sosok itu adalah seorang ibu paruh baya yang sedang mengayuh
sepeda sambil membawa barang di boncengan dan di stir sepedanya. Selain itu,
ada juga barang di atas kepalanya. Perlahan sosok itu semakin mendekat ke
arahku dan berhenti di depanku.Ibu paruh baya itu mengurangi kecepatan
sepedanya dengan menekan rem di stir sepedanya dengan jemari tangan kanannya.
Sementara jemari tangan kirinya memegang barang di atas kepalanya agar tidak
terjatuh. Setelah sepedanya berhenti dengan ditandai berhentinya roda ban
sepeda, ibu paruh baya itu segera turun dari sadel sepedanya. Aku pun beranjak
dari posisi dudukku untuk membantu si ibu tersebut turun dari sepeda dengan
cara mengambil barang diatas kepalanya.
“Maaf bu, sini biar saya bantu!”
“Iya, terima kasih Dik.”
Ibu paruh baya tersebut turun dari
sepedanya.
“Ibu darimana dan mau kemana?”
“Ini dari keliling dek, ibuk jualan,
adik mau beli?”
“Memangnya ibu jualan apa?” tanyaku
sambil melihat barang dagangan si ibu yang sedang kupegang.
“Kalau itu kue Dik. Silahkan
dipilih!”
Si ibu membuka sebuah kotak yang
sedeng kupegang dengan kedua tangannya, sementara sepedanya disandarkan pada
pinggangnya.
“Wah,
jajanan pasar Bu. Berapa ini harganya Bu?”
“Murah kok Dik. Cuma seribu
perbiji.”
“Buat sendiri ini kuenya Bu?”
Aku mencoba memilih kue-kue dagangan
si ibu tersebut.
“Iya Dik. Kebetulan ada putri ibu
yang membantu membuatnya.”
“Ya udah, saya beli semua kue lapis
dan kue onde-ondenya Bu.”
“Oiya
Dik, semua ya, sebentar ibu cari bungkusnya.”
Si
ibu membuka tas kecil yang diletakkan di stir sepedanya. Lalu, ibu itu mengeluarkan
kotak kecil yang terbuat dari anyaman bambu. Di dalamnya terdapat selembar alas
pada dasar kotak tersebut berupa daun pisang yang masih muda. Sambil si ibu
membungkus kue kubuka suara.
“Putri
ibu sudah besar yak ok sudah bias membantu ibu membuat kue?”
“Sepertinya
seusia dengan adik sekarang. Dia juga masih kuliah sekarang.”
“Kuliah
disini Bu?”
“Di
Surabaya Dik. Dia dapat beasiswa. Jadi, meringankan beban ibu. Tapi sebenarnya
itu bukan beban karena memang kewajiban orang tua untuk mewujudkan cita-cita
putra-putrinya.”
Tiba-tiba
aku merasa kagum kepada ibu dihadapanku ini. Setelah mendengar penuturan ibu
itu tentang kebijakan pandangannya tentang kewajiban orang tua, aku yakin jika
kecerdasan putrinya adalah warisan darinya. Hal tersebut sesuai dengan teori
pewarisan sifat dimana sifat keturunan akan sesuai dengan induknya atau orang
tuanya. Jika induknya baik maka keturunannya akan baik dan begitu pula berlaku
sebaliknya.
“Ini
Dik, kue lapisnya ada empat dan kue onde-ondenya ada enam. Jadi, semuanya
sepuluh ribu?”
“Iya,
ini uangnya Bu.”
Aku
menyerahkan selembar uang
kertas bergambar Sultan Mahmud Badaruddin II.
“Terima
kasih ya Dik.”
“Sama-sama
Bu, salam ya buat putri ibu.”
“Iya
Dik, nanti ibu sampaikan.”
‘Oiya
Bu, kalau putri ibu kuliah di Surabaya, kok bisa membantu ibu membuat kue?”
“Dia
sekarang sedang liburan. Katanya minggu tenang sebelum ujian. Jadi, dia bisa
bantu ibu untuk membuat kue. Sebenarnya ibu dilarang jualan kue karena uang
kiriman hasil usaha jualan kuenya di Surabaya sudah mencukupi kebutuhan ibu dan
adik laki-lakinya, yang sekarang duduk dibangku kelas dua SD. Dia di Surabaya
punya usaha jualan kue jajanan pasar di kampus. Kebetulan dia sudah biasa
membantu ibu membuat kue di rumah sejak kecil. Awalnya dia coba-coba untuk
menutupi biaya hidupnya. Ternyata laku keras dan terus berkembang sampai
sekarang. Tapi ibu merasa tubuh ibu jadi sakit semua kalau tidak bekerja. Jadi
ibu kembali berjualan. Lagipula uang penghasilannya dari jualan kue bisa
ditabung untuk masa depannya nanti.”
Betapa
mulianya hati si ibu yang tulus ini. Kasih ibu memang sepanjang masa. Tiada
yanglebih tulus dari kasih seorang ibu kepada anaknya. Tak terasa butiran
bening menetes dari sudut mataku. Tiba-tiba bunyi dering ponselku memecah
suasana.
“Ya.
Wa’alaikumsalam.”
“Dimana
kamu, Ra? Aku udah di depan fakultasmu nih. ”
“Iya,
aku kesana sekarang.”
Kulirik
sudut sebelah selatan jalan.Tampak seseorang yang kutunggu sedari tadi. Setelah
berpamitan dan berjabat tangan sambil mencium punggung tangan kanan si ibu
penjual kue, segera kulangkahkan kaki menuju orang yang baru saja menelponku.
“Lama
banget sih, Ra?”
“Yee..,
harusnya aku yang marah. Aku udah kayak bunga layu tau nungguin disini!”
“Hehe.
Iya, maaf deh. Jadi mau pulang nggak nih?”
“Ya
jadi dong. Enak aja aku udah nunggu lama. Sia-sia dong kalau nggak jadi.”
“”Ya
udah, come on!”
“Nih,
ada kue!”
“Kue?
Kebetulan aku laper.”
“Kapan
sih nggak kelaperan. Dasar perut karet!”
“Wah.
Onde-onde kesukaanku. Thank you ya
adikku sayang.”
“Hemm..,
kalau ada maunya aja.”
“Iya
deh, mau apa sih, nanti aku beliin?”
“Beneran?”
“Iya,
adikku tersayang.”
“Ya
udah, aku minta jangan jailin aku lagi, bisa nggak?”
“Wah,
kalau itu sulit dan kayaknya nggak bisa.”
“Kenapa?”
“Udah
hobi. Hehehe.”
“Hobi
kok jailin adik sih, hobi yang aneh.”
“Habis
aku alergi kalau nggak jailin kamu. Makanya kamu kan kuliah jurusan Biologi,
coba deh buat antbiotik yang bisa menghambat virus jailku ke kamu. Hahahahaha.”
“Kenapa
sih harus jail?”
“Sebenarnya
itu tanda sayang Dik, kan seorang kakak harus menyayangi adiknya?”
“Nggak
ada cara lain apa?”
“Enggak.
Hehehe.”
“Ya
udah, ayo pulang!”
“Ok. Let’s
go!”
Sore
ini kudapat pelajaran berharga dari seorang ibu penjual kue yang begitu tulus
menjalani kehidupan sebagai orang tua bagiputra-putrinya. Ternyata menunggu itu
tidak selalu menyebalkan. Semua itu tergantung dari bagaimana cara kita
menyikapinya. Apabila kita mengisi dengan hal-hal positif selama menunggu
sesuatu maka saat-saat menunnggu kita akan terasa menyenangkan. Dan akan
semakin membahagiakan ketika apa yang ditunggu telah datang. Bagaikan sambil
menyelam minum air. Mendapatkan dua keuntungan.
Tepat
saat si raja hari kembali ke peraduannya aku sampai di tempat penuh kedamaian. Tempat
yang selalu kurindu. Suasana kehangatan bersama keluarga tercinta. Bercengkrama
dan berkumpul dengan keluarga bak oase di gurun pasir. Hal tersebut sekarang
menjadi hal yang langka bagiku. Minggu tenang memang belum dimulai, tapi aku pulang
kampung terlebih dahulu. Hehehe. Menunggu awalnya adalanya sesuatu yang
membosankan bagiku. Namun, hari ini menunggu bagiku sangat menyenangkan. So, waiting, why not?