My Best Friend

Minggu, 04 Oktober 2015

Jangan Takut Memilih


Jangan Takut Memilih

          Apakah kamu pernah dalam keadaan harus memilih satu diantara dua pilihan? Pasti. Setiap orang yang hidup di dunia ini pasti pernah mengalaminya. Karena hidup adalah pilihan. Setiap saat kita dihadapkan dalam pilihan. Hal tersebut seringkali tidak kita sadari, namun sebenarnya selalu kita hadapi. Hidup menyajikan pilihan yang harus kita pilih.
***
          Senja yang indah. Aku suka panorama senja. Saat Sang Raja Hari perlahan kembali tidur ke peraduannya. Semburat warna jingga menghiasi dinding angkasa yang semula berwarna biru. Diiringi kawanan burung yang terbang untuk kembali menuju sarangnya. Mereka puas dengan tembolok yang penuh oleh makanan. Seharian mereka telah berjuang mencari rezekiNya. Dia selalu menepati janjiNya. Bagi siapa yang mencari rezekiNya, maka Dia akan memberi rezekiNya.
          Posisi kamarku yang strategis membuatku bisa mengamati indahnya panorama senja. Kamarku langsung menghadap balkon. Darisini aku bisa melihat keadaan di sekitar kost. Biasanya aku berdiri didekat pagar setinggi pinggang dan membiarkan angin sore berhembus menerpa wajah dan permukaan kedua tanganku. Kuedarkan pandanganku ke arah matahari terbenam. Terdengar adzan magrib bergema dari masjid di komplek perumahan kostku berada. Kupejamkan mataku sambil mendengarkan lafadz adzan yang dikumandangkan oleh sang muadzin. Suara yang merdu. Menyejukkan jiwa yang penat oleh kesibukan sehari ini. Kucoba lepaskan semua beban fikiran yang menyita waktuku. Menarik nafas dan menghembuskannya perlahan.
          Kaki ini tergerak melangkah menuju tempat wudhu yang berada di dekat kamar mandi. Guyuran air yang jatuh pada permukaan kulit membangunkan syaraf-syarafku yang beku oleh padatnya aktivitas hari ini. Aku merasa terlalu asyik dengan aktivitasku. Disisi lain, aku juga merasa ada sesuatu yang hilang. Terselip rasa hampa dan kosong. Fikiranku terus bekerja, namun jiwaku melayang jauh entah kemana. Mungkin mencari tempat asalnya.
          Ketika tanganku mengambil mukena putihku, tiba-tiba terdengar dering telfon dari handphone-ku. Aku segera memakai mukenaku. Beberapa saat kemudian terdengar lafadz takbir. Aku hanyut dalam dialog interaktif denganNya. Tak ingin menunda bertanya jawab denganNya. Inilah waktu untuk mengistirahatkan fikiran dan jiwa dari kesibukan seharian ini.
***
          Malam menyapa dengan hadirnya bintang-bintang di langit hitam. Bak permadani hitam bertabur emas. Bulan pun tidak kesepian ditemani oleh bintang-bintang. Tak sepertiku yang tiada berkawan. Ketika malam datang, pulpen dan kertas A4 telah menunggu di atas meja belajarku. Mereka seolah memanggil-manggilku untuk disentuh. Namun, aku masih malas untuk berinteraksi dengan mereka berdua. Aku mendengar teriakan cacing-cacing di perut lebih nyaring meminta pasokan nutrisi. Akhirnya, aku lebih memilih keluar untuk membeli makan. Sebelum beranjak pergi, dering telfon kembali terdengar.
          “Kamu sibuk ya?”
          “Wa’alaikumsalam..”
          “Eh, iya.. assalamu’alaikum, kamu lagi sibuk sekarang?”
          “Wa’alaikumsalam, tadi ada panggilan lain yang datang lebih dulu.”
          “Kamu bisa datang ke party pajak jadiannya Pamela?”
          “Maaf aku nggak bisa.”
          “Ah, kamu nggak asyik Ca.”
Klik!
-Sambungan terputus-
          Aku bingung dengan keadaanku sendiri. Seringkali melawan sisiku yang lain. Perang batin. Merasa ada yang salah. Apakah aku harus mengikuti sesuatu yang salah? Tidak bolehkah aku memilih sesuai yang menurutku benar? Bukankah setiap orang memiliki hak untuk memilih? Tapi saat pilihanku berbeda dengan yang lain, kenapa menuai banyak protes dari yang lain? Entahlah, aku tak mau tahu lagi. Aku hanya ingin memilih apa yang menurutku benar. Selama pilihanku adalah hal yang menurutku benar, maka aku tak mau ambil pusing dengan respon mereka.
          Tak ingin merusak suasana hatiku, aku pun segera keluar untuk mencari makan karena panggilan dari dalam perutku tak bisa lagi ditolerir. Suasana jalan tak jauh beda dengan fikiranku saat ini. Padat merayap dengan kendaraan yang memenuhi jalanan. Lampu jalan menyemarakkan keramaian jalan. Hiruk pikuk di sepanjang jalan tak mampu membuatku tergoda untuk menyatu dengan mereka.
***
          Tidur belum nyenyak, aku harus terbangun. Seolah berlomba dengan bangunnya mentari pagi. Sebelum hangatnya sinar mentari pagi semakin terasa, aku segera meninggalkan kamar kost. Seorang loper koran melempar koran ke arah teras rumah kost tepat ketika aku membuka pintu. Sejenak kuluangkan waktuku untuk membaca koran pagi ini. Sorot mataku langsung tertuju pada kolom headline hari ini. Aku nyaris tak percaya dengan yang kubaca.
          “Bermaksud party, malah tertusuk belati. Pamela (20), seorang mahasiswa yang sedang merayakan pajak jadian, akhirnya jadi korban penusukan. Pelaku ditengarai adalah mantan kekasih dari pacar baru Pamela. Ironi ketiga teman korban yang ikut dalam pesta malam itu terkena imbas dengan terkena goresan tajamnya belati sang pelaku. Pelaku mengaku dendam dengan korban karena masih menyukai mantan kekasihnya. Lanjut halaman 17..”
          Entah, aku harus berduka atau bersyukur. Disatu sisi aku berduka karena teman-temanku mendapat musibah semalam. Namun, disisi lain aku bersyukur karena semalam memutuskan untuk menolak ajakan dari temanku sehingga terhindar dari bahaya. Sebenarnya, aku masih bertanya pada diriku sendiri, apakah langkahku sudah benar? Ada perasaan bersalah dan beban sosial kepada teman-temanku. Aku merasa jadi teman yang paling buruk. Aku ingin memperbaiki diri, tapi aku tak mau memperbaiki teman-temanku. Seharusnya aku mengingatkan mereka. Penyesalan memang selalu datang di akhir.
          Pamela. Dia temanku sejak sekolah menengah atas. Gadis cantik yang digandrungi para adam. Namun, sayang paras cantiknya mengundang petaka. Dia dimusuhi para gadis lainnya. Aku dan Pamela bagaikan gula dan semut. Dimana ada Pamela, disana ada aku. Akhir-akhir ini, aku menjauh darinya. Bukan maksudku untuk menjauh darinya. Tapi, aku ingin introspeksi diri dan berharap bisa menjadi teman yang baik untuknya. Pamela yang sekarang bukanlah Pamela yang kukenal dulu. Semenjak kuliah, dia jadi agresif, konsumtif dan suka hang out hingga larut malam. Pamela tak lagi pemalu. Padahal dulu dia kurang percaya diri, meskipun parasnya cantik. Dia juga jadi suka jalan-jalan dan belanja barang-barang branded dengan teman-teman barunya. Tak jarang aku diajak. Beberapa kali aku mengikuti mereka karena Pamela memaksaku. Pamela malu memakai baju, aksesori atau sepatu yang tidak setara dengan teman-teman barunya. Satu lagi, sekarang Pamela hobi hang out dan parahnya hingga larut malam. Dan puncaknya adalah tadi malam. Pamela mengadakan party untuk pajak jadian dia dengan kekasih barunya. Hingga nasib tragis menimpanya. Aku masih tak habis fikir. Aku tak mengenal siapa Pamela yang sekarang. Dia benar-benar telah berubah.
          Usai kuliah, aku bergegas menuju rumah sakit untuk menjenguk Pamela. Sahabatku itu terkulai tak berdaya di atas ranjang rumah sakit kelas VVIP. Kedua orang tua Pamela keluar meninggalkan aku dan Pamela di ruang perawatan.
          “Maaf..”
Aneh. Kami berdua mengucapkan kata yang sama secara bersamaan.
          “Maaf untuk apa Mel?”
          “Maaf karena aku tak mendengar nasehatmu.”
          “Justru aku yang harusnya minta maaf. Aku bukan teman yang baik untukmu. Aku terlalu egois dan aku malah menjauhimu. Aku..”
          “Kamu teman terbaikku Ca, aku tahu kamu menjauhiku karena kamu ingin aku sadar bahwa aku telah kehilangan sahabat terbaikku. Ternyata aku..”
          “Mel, kita harus saling mengingatkan ya. Kamu tinggalkan kebiasaanmu yang suka beli barang branded dan hobi keluar malam dengan teman-temanmu ya?”
          “ Aku udah nggak berteman lagi dengan mereka. Mereka yang mengenalkanku pada gaya hidup itu. Kamu mau kan bantu aku Ca?”
          “Pasti.”
          “Jangan jauhi aku lagi ya Ca, aku bingung harus curhat ke siapa. Kamu teman curhat paling nyaman dan bijaksana bagiku. Katakan aja langsung kalau ada salah padaku. Jangan malah menjauhiku, aku butuh teman berbagi untuk memilih dan memutuskan sesuatu.”
          “Iya, kemarin aku menjauh untuk introspeksi diri, mungkin aku yang salah. Bukan maksudku ingin menjauhimu. Aku hanya merasa ada yang salah denganku.”
          “Kita introspeksi bareng-bareng ya?”
          “Baiklah.”
***
          Pilihan yang kita pilih tak selalu benar. Tapi, kita harus tetap memilih sesuatu yang menurut kita paling benar. Tak perlu takut dengan respon orang lain. Hidup memang tak selalu dalam kenyamanan. Kita yang berusaha mencari kenyamanan dengan pilihan kita.

Waktu


Waktu

          Detik waktu terus melangkah. Tak peduli denganku yang sudah tesengal-sengal mengejar ketertinggalan. Melihat sekitar malah semakin membuatku merasa tertinggal jauh. Lebih baik aku fokus pada jalan yang kutempuh. Mereka memang tak bersalah. Hanya aku yang harus mengerti. Sudahlah abaikan yang membuat langkahku goyah dan pada akhirnya terhenti. Bila ada yang harus disalahkan itu adalah aku. Bukan mereka dan juga bukan mereka yang memandangku sinis.
          Denting waktu mengingatkanku bahwa aku harus menyelesaikan tugasku yang menumpuk jika tidak segera diselesaikan. Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit dan pada akhirnya bisa roboh menimpaku. Raungan sang waktu kembali terdengar. Aku kembali terbangun, melihat si panjang telah menempati angka sepuluh, sedangkan si kecil menuju angka satu. Sementara itu, si merah terus berputar mengitari angka demi angka. Kenapa mereka tak pernah lelah untuk bekerja sehari semalam. Sementara aku begitu lelah. Aku baru tau jika ada baterai yang menjadi bahan bakar dan berkoordinasi dengan mesin waktu untuk menggerakkan jarum waktu. Lalu, apakah bateraiku lemah? Atau mesinnya yang rusak karena bekerja terus-menerus?
          Menunda. Kata yang sangat ingin kuhindari. Menunda adalah hal yang membuat tugas-tugasku semakin bertumpuk dan tak terselesaikan. Kata yang paling tepat untuk melawan kata ini adalah memulai. Dan tindakan nyata untuk mewujudkannya adalah kata mulai itu sendiri. Aku harus memerangi musuh terbesarku. Menahan beban berat berupa rasa kantuk yang menempel di kelopak mata. Segelas Theobroma cacao telah mengalir dengan lembut di kerongkongkan dengan gerakan peristaltik dan bermuara pada sfingter cardio. Senyawa yang masuk bereaksi yang mengakibatkan asam lambungku menurun dan berbanding terbalik dengan kadar kafein yang terkandung di dalamnya yang membuat kerja sistem sarafku meningkat. Efeknya rasa kantuk perlahan memudar dan indera penglihatanku terbuka.
          Kertas laporan praktikum yang tergeletak di atas meja belajar berukuran 60x100 cm menungguku untuk segera menyentuhnya. Bolpoin merk pengemudi pesawat terbang juga seolah-olah memanggilku untuk segera merangkai kata di atas kertas yang masih putih bersih. Hanya ada bingkai garis berukuran 4433 dari pensil yang menghiasi. Jemari ini tergerak untuk membuka tutup bolpoin dan mulai menggoreskan tinta hitam. Memulai. Akhirnya kata itu muncul lagi.
          Kata demi kata terangkai menjadi kalimat. Kalimat demi kalimat tersusun menjadi paragraf. Alinea-alinea baru pun terus terbentuk. Sambil membaca refrensi dari buku perpustakaan kususun laporan praktikumku. Targetku sebelum adzan shubuh berkumandang aku telah menyelesaikan tugasku. Kulirik sang waktu, si panjang telah berotasi dua kali dan si pendek sekarang menuju angka tiga. Dan si merah masih bersemangat mengitari angka demi angka. Kuputuskan untuk berhenti menulis. Kedua kaki ini tergerak untuk melangkah menuju keluar kamar.
          Bintang-bintang berhamburan di langit malam bak permadani bertabur cahaya keemasan. Si bulan senang karena malam ini ia tidak kesepian. Ada kawanan bintang yang menemaninya. Di bawah langit malam aku merasa iri pada si bulan,  dia ditemani oleh bintang-bintang. Sementara aku disini hanya sendiri. Aku juga ingin ditemani oleh kawan-kawanku. Rindu pun menelusup ke relung hati. Ada bias kerinduan yang muncul ke permukaan hati. Rekaman kenangan masa lalu pun terputar kembali. Sebelum berlanjut terlalu jauh maka aku segera meng-cut video yang terlanjur terbuka.
          Guyuran air kran memberikan stimulus pada saraf yang ada di bawah permukaan kulit untuk diteruskan ke otak. Beberapa detik kemudian kurasakan rasa dingin merasuk ke tubuhku. Dinginnya air tak menyurutkan semangatku untuk mengambil wudhu. Sepertiga malam terakhir menjadi momen paling kutunggu untuk melepas penat atas kesibukan yang terus menderaku dan menuangkan segala kegundahaanku. Dia adalah tempat paling nyaman bagiku untuk menyandarkan segala beban ini. Dia juga menjadi tempat paling aman untuk berbagi cerita. Awalnya aku terbangun karena terpaksa melaksanakan amanat ibu untuk tak lupa melaksanakan shalat tahajud dan bermunajad padaNya. Namun, seiring berjalannya waktu aku merasa kegiatan ini adalah suatu kebutuhan. Tidak hanya komputer yang butuh untuk di-refresh, tapi otak dan jiwaku juga butuh untuk direfresh. Bagiku cara merefresh otak dan jiwa adalah bertemu denganNya disepertiga malam terakhir. Aku merasakan ketenangan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
          Malam ini kusampaikan perasaan yang sedang kuhadapi padaNya. Tentang semangatku yang mudah menguap seperti minyak atsiri yang ditempatkan pada tempat terbuka. Akhir-akhir ini aku merasa semangatku semakin menurun ketika aku berada di antara mereka. Mereka yang menganggapku sesuatu yang tidak biasa. Aneh. Selalu membuat mereka bertanya-tanya. Dan berulang kali aku gagal menjawab pertanyaan mereka.
          Kututup curahan perasaanku dengan mengucap syukur padaNya karena selalu bersedia mendengar keluh kesahku. Tak berapa lama kemudian, terdengar suara adzan bergema dari laptop. Kulanjutkan berdiri untuk melaksanakan sholat shubuh.
          Fajar pun datang membawa harapan baru. Setiap pagi tiba selalu ada harapan baru. Waktu adalah modal manusia untuk hidup. Selama waktu bergulir selam itu pula harapan selalu ada. Aku pun berpendapat seperti itu. Akhirnya kutemukan semangatku kembali. Ternyata semangatku adalah kesempatan yang masih diberikan olehNya. Waktu.
          Aku tak lagi peduli dengan mereka yang menganggapku aneh. Aku memang aneh. Aku terlahir sebagai seorang yang normal. Namun, kedua orang tuaku bisu tuli. Mereka menyandang bisu tuli sejak lahir. Akan tetapi hanya fisik mereka yang cacat, hati mereka begitu baik. Mereka memberikan kasih sayang penuh kepadaku. Mengajariku arti kehidupan dan pentingnya bersyukur serta menghargai anugerah hidup yang diberikan olehNya.
          Mereka yang menganggapku aneh itu sebenarnya hanya belum paham bahwa ada sesuatu yang bisa menjelaskan bahwa hal ini bukanlah sesuatu yang tabu. Inilah yang aku pelajari pada studiku di perguruan tinggi. Ada ilmu yang bisa menjelaskannya yaitu Genetika. Ilmu genetika merupakan ilmu yang mempelajari tentang pewarisan sifat pada makhluk hidup. Ada hukum yang dinamakan hukum Mendell. Pada hukum Mendell terjadi penyimpangan yang salah satunya adalah modifikasi epistasi resesif rangkap. Akan tetapi, aku tak bisa menjelaskan hal tersebut kepada mereka sehingga mereka bisa memahaminya.
          Kejadian ini memberi pelajaran penting bagiku. Kita boleh paham mengenai sesuatu hal, dalam hal ini ilmu. Namun, ilmu itu akan sia-sia apabila kita tidak bisa memberi kepahaman kepada orang lain tentang ilmu tersebut. Sehingga ilmu tersebut terus hidup dan tidak hilang ditelan waktu. Satu hal lagi, mungkin  kita mudah untuk menjelaskan suatu pengetahuan kepada orang yang berpendidikan, namun kita akan menemui kesulitan ketika menjelaskan kepada mereka yang berpendidikan rendah. Padahal kita tak selalu berhubungan dengan orang yang berpendidikan. Ada kalanya kita juga berhadapan dengan masyarakat yang berpendidikan rendah. Seperti masyarakat di sekitar tempat tinggalku.
          Sekali lagi ini bukan salah mereka. Akulah yang salah. Aku yang tahu namun tak bisa memberi tahu mereka sehingga mereka bisa memahaminya. Kedua orang tuaku juga tak bersalah. Mereka adalah kado terindah yang diberikan Tuhan untukku dalam hidup ini. Aku tak pernah menganggap mereka cacat, bagiku mereka sempurna. Meskipun secara fisik mereka cacat, namun mereka memiliki kesempurnan dalam memandang dan menghargai akan anugerah waktu yang diberikan Tuhan untuk mereka. Mereka bersyukur atas kesempatan hidup yang telah diberikan Tuhan kepada mereka. Untuk itu mereka ingin memanfaatkan kesempatan dengan sebaik mungkin. Salah satunya menyanyangi dan menjaga titipan Tuhan. Putri semata wayang mereka.
          Sinar mentari pagi menerobos ke celah jendela kamarku. Rupanya aku tertidur lagi setelah menyelesaikan laporan praktikumku. Kupandang sekitar kamarku. Buku-buku refrensi, kertas F4, dan lembaran-lembaran fotokopian materi kuliah berserakan di bawah lantai. Lantai ubin berbentuk jajar genjang yang berwana putih pun jadi tak terlihat. Kulirik sang waktu yang duduk di atas meja belajarku. Si panjang berhenti di angka enam dan di pendek menuju angka tiga. Sementara si merah terus mengitari angka-angka. Aku juga tak mau kalah dengan mereka. Aku harus bergerak. Kertas-kertas dan buku yang berserakan segera kurapikan dan bersiap menuju tempat yang dua tahun ini selalu kudatangi.
          Waktu memang akan terus berjalan. Kita tak tau apa yang akan terjadi pada waktu yang akan datang. Semua masih abu-abu. Percampuran antara hitam dan putih. Tak perlu merisaukan apakah warna putih atau warna hitam yang nantinya akan lebih dominan. Hitam dalam artian kenyataan buruk yang terjadi atau putih dalam artian kenyataan baik yang terjadi. Biarlah semua terjadi sesuai kehendakNya. Bagiku yang terpenting adalah berbuat yang terbaik semaksimal mungkin karena Tuhan masih memberikan kesempatan untuk hidup.

Senin, 17 Juni 2013

Memetik Bintang Senja



Memetik Bintang Senja
By: Ayu (Upik Rara)
            Kehidupan kampus di Universitas Jember merupakan kehidupan yang kompleks. Klimaksnya terjadi dibulan ini. Bulan Mei. Bulan yang bias dibilang bulan yang penuh harapan sekaligus bulan yang menyibukkan. Dikatakan bulan yang penuh harapan karena diakhir bulan ini aka ada minggu tenang sebelum ujian akhir semester dilaksanakan. Dimana momen ini menjadi momen pulang kampong bagi para mahasiswa, terutama bagi mereka yang berasal dari luar kota. Sedangkan dikatakan bulan yang menyibukkan karena dibulan ini ada tugas-tugas tambahan dari dosen, yang salah satunya menjadi syarat untuk bisa mengikuti ujian akhir semester. Selain itu, dibulan ini pula akan diadakan responsi dari serangkaian praktikum yang telah dilakukan, terutama bagi mahasiswa fakultas MIPA, khususnya bagi mahasiswa jurusan Biologi.
            Kuliah menjadi kegiatan utama mahasiswa di kampus. Mikrobiologi menjadi salah satu mata kuliah wajib yang harus diambil oleh mahasiswa jurusan Biologi disemester genap, terutama bagi mahasiswa yang sedang menempuh semester dua. Selain kegiatan perkuliahan, ada pula kegiatan praktikum untuk menunjang pemahaman dan softskill mahasiswa. Mahasiswa pun wajib mengikuti serangkaian kegiatan praktikum tersebut tanpa terkecuali.
            Sore ini, ada praktikum Mikrobiologi tentang isolasi dan penanaman mikrob. Hari ini agenda yang dilakukan adalah proses pengisolasian dan penanaman mikrob, namun selanjutnya akan diadakan pengamatan makroskopis untuk mikrob yang telah tumbuh dari proses tersebut. Selesai mengikuti praktikum, kedua kaki ini  segera melangkah menuju pelataran depan fakultas MIPA. Di bawah sebuah pohon Filicium sp. kuterduduk. Ada sebuah jalan setapak berbata merah tepat di bawah pohon tersebut. Beberapa orang berlalu-lalang melewati jalan setapak tersebut. Tak kuhiraukan mereka. Sekarang fikiranku melayang ke suatu tempat yang penuh kedamaian. Setengah jam berlalu tak kulihat sosok yang semenjak tadi telah kutunggu kedatangannya untuk mengantarkanku ke tempat tersebut. Menunggu memang hal yang paling tidak kusukai. Banyak hal yang harusnya bisa kulakukan daripada menunggu. Kesabaranku mulai terkikis oleh waktu. Hampir saja kumenyerah, akan tetapi setangkai helaian daun Filicium sp. yang gugur di dekatku menyadarkanku akan betapa besarnya kesabaran mereka. Mereka selalu bertahan dan terus berharap akan turunnya hujan untuk menumbuhkan daun-daun muda. Filosofi pohon memang indah. Batang pohon selalu setia walaupun daun akan gugur meninggalkan mereka dimusim kemarau. Batang pohon akan terus berdiri kokoh dan akan bersemi ketika musim penghujan telah datang.
            Tangan kanan ini tergerak untuk mengambil sehelai daun Filicium sp. yang terjatuh didekat kaki kananku. Terlihat tepi daunnya bergelombang dengan ujung meruncing. Ada filosofi yang penuh makna, dimana bentuk tepid an ujung daun tersebut menunjukkan bahwa untuk menuju suatu titik (cita-cita) maka kita harus terlebih dahulu melewati jalan yang tidak mulus atau bergelombang. Oleh karena itu dibutuhkan usaha keras untuk meraih cita-cita. Seperti yang sedang kulakukan sekarang, berjuang untuk mewujudkan cita-citaku.
            Disaat masa penantian, kucoba mengamati jalanan di depan fakultas MIPA yang mulai ramai oleh orang-orang yang ingin pulang karena telah tiba waktu pulang bagi para mahasiswa dan juga bagi para karyawan dan dosen. Pandanganku tiba-tiba teralihkan kepada sosok bersepeda ontel. Sosok itu adalah seorang ibu paruh baya yang sedang mengayuh sepeda sambil membawa barang di boncengan dan di stir sepedanya. Selain itu, ada juga barang di atas kepalanya. Perlahan sosok itu semakin mendekat ke arahku dan berhenti di depanku.Ibu paruh baya itu mengurangi kecepatan sepedanya dengan menekan rem di stir sepedanya dengan jemari tangan kanannya. Sementara jemari tangan kirinya memegang barang di atas kepalanya agar tidak terjatuh. Setelah sepedanya berhenti dengan ditandai berhentinya roda ban sepeda, ibu paruh baya itu segera turun dari sadel sepedanya. Aku pun beranjak dari posisi dudukku untuk membantu si ibu tersebut turun dari sepeda dengan cara mengambil barang diatas kepalanya.
            “Maaf bu, sini biar saya bantu!”
            “Iya, terima kasih Dik.”
            Ibu paruh baya tersebut turun dari sepedanya.
            “Ibu darimana dan mau kemana?”
            “Ini dari keliling dek, ibuk jualan, adik mau beli?”
            “Memangnya ibu jualan apa?” tanyaku sambil melihat barang dagangan si ibu yang sedang kupegang.
            “Kalau itu kue Dik. Silahkan dipilih!”
            Si ibu membuka sebuah kotak yang sedeng kupegang dengan kedua tangannya, sementara sepedanya disandarkan pada pinggangnya.
            “Wah, jajanan pasar Bu. Berapa ini harganya Bu?”
            “Murah kok Dik. Cuma seribu perbiji.”
            “Buat sendiri ini kuenya Bu?”
            Aku mencoba memilih kue-kue dagangan si ibu tersebut.
            “Iya Dik. Kebetulan ada putri ibu yang membantu membuatnya.”
            “Ya udah, saya beli semua kue lapis dan kue onde-ondenya Bu.”
“Oiya Dik, semua ya, sebentar ibu cari bungkusnya.”
Si ibu membuka tas kecil yang diletakkan di stir sepedanya. Lalu, ibu itu mengeluarkan kotak kecil yang terbuat dari anyaman bambu. Di dalamnya terdapat selembar alas pada dasar kotak tersebut berupa daun pisang yang masih muda. Sambil si ibu membungkus kue kubuka suara.
“Putri ibu sudah besar yak ok sudah bias membantu ibu membuat kue?”
“Sepertinya seusia dengan adik sekarang. Dia juga masih kuliah sekarang.”
“Kuliah disini Bu?”
“Di Surabaya Dik. Dia dapat beasiswa. Jadi, meringankan beban ibu. Tapi sebenarnya itu bukan beban karena memang kewajiban orang tua untuk mewujudkan cita-cita putra-putrinya.”
Tiba-tiba aku merasa kagum kepada ibu dihadapanku ini. Setelah mendengar penuturan ibu itu tentang kebijakan pandangannya tentang kewajiban orang tua, aku yakin jika kecerdasan putrinya adalah warisan darinya. Hal tersebut sesuai dengan teori pewarisan sifat dimana sifat keturunan akan sesuai dengan induknya atau orang tuanya. Jika induknya baik maka keturunannya akan baik dan begitu pula berlaku sebaliknya.
“Ini Dik, kue lapisnya ada empat dan kue onde-ondenya ada enam. Jadi, semuanya sepuluh ribu?”
“Iya, ini uangnya Bu.”
Aku menyerahkan selembar uang kertas bergambar Sultan Mahmud Badaruddin II.
“Terima kasih ya Dik.”
“Sama-sama Bu, salam ya buat putri ibu.”
“Iya Dik, nanti ibu sampaikan.”
‘Oiya Bu, kalau putri ibu kuliah di Surabaya, kok bisa membantu ibu membuat kue?”
“Dia sekarang sedang liburan. Katanya minggu tenang sebelum ujian. Jadi, dia bisa bantu ibu untuk membuat kue. Sebenarnya ibu dilarang jualan kue karena uang kiriman hasil usaha jualan kuenya di Surabaya sudah mencukupi kebutuhan ibu dan adik laki-lakinya, yang sekarang duduk dibangku kelas dua SD. Dia di Surabaya punya usaha jualan kue jajanan pasar di kampus. Kebetulan dia sudah biasa membantu ibu membuat kue di rumah sejak kecil. Awalnya dia coba-coba untuk menutupi biaya hidupnya. Ternyata laku keras dan terus berkembang sampai sekarang. Tapi ibu merasa tubuh ibu jadi sakit semua kalau tidak bekerja. Jadi ibu kembali berjualan. Lagipula uang penghasilannya dari jualan kue bisa ditabung untuk masa depannya nanti.”
Betapa mulianya hati si ibu yang tulus ini. Kasih ibu memang sepanjang masa. Tiada yanglebih tulus dari kasih seorang ibu kepada anaknya. Tak terasa butiran bening menetes dari sudut mataku. Tiba-tiba bunyi dering ponselku memecah suasana.
“Ya. Wa’alaikumsalam.”
“Dimana kamu, Ra? Aku udah di depan fakultasmu nih. ”
“Iya, aku kesana sekarang.”
Kulirik sudut sebelah selatan jalan.Tampak seseorang yang kutunggu sedari tadi. Setelah berpamitan dan berjabat tangan sambil mencium punggung tangan kanan si ibu penjual kue, segera kulangkahkan kaki menuju orang yang baru saja menelponku.
“Lama banget sih, Ra?”
“Yee.., harusnya aku yang marah. Aku udah kayak bunga layu tau nungguin disini!”
“Hehe. Iya, maaf deh. Jadi mau pulang nggak nih?”
“Ya jadi dong. Enak aja aku udah nunggu lama. Sia-sia dong kalau nggak jadi.”
“”Ya udah, come on!”
“Nih, ada kue!”
“Kue? Kebetulan aku laper.”
“Kapan sih nggak kelaperan. Dasar perut karet!”
“Wah. Onde-onde kesukaanku. Thank you ya adikku sayang.”
“Hemm.., kalau ada maunya aja.”
“Iya deh, mau apa sih, nanti aku beliin?”
“Beneran?”
“Iya, adikku tersayang.”
“Ya udah, aku minta jangan jailin aku lagi, bisa nggak?”
“Wah, kalau itu sulit dan kayaknya nggak bisa.”
“Kenapa?”
“Udah hobi. Hehehe.”
“Hobi kok jailin adik sih, hobi yang aneh.”
“Habis aku alergi kalau nggak jailin kamu. Makanya kamu kan kuliah jurusan Biologi, coba deh buat antbiotik yang bisa menghambat virus jailku ke kamu. Hahahahaha.”
“Kenapa sih harus jail?”
“Sebenarnya itu tanda sayang Dik, kan seorang kakak harus menyayangi adiknya?”
“Nggak ada cara lain apa?”
“Enggak. Hehehe.”
“Ya udah, ayo pulang!”
Ok. Let’s go!”
Sore ini kudapat pelajaran berharga dari seorang ibu penjual kue yang begitu tulus menjalani kehidupan sebagai orang tua bagiputra-putrinya. Ternyata menunggu itu tidak selalu menyebalkan. Semua itu tergantung dari bagaimana cara kita menyikapinya. Apabila kita mengisi dengan hal-hal positif selama menunggu sesuatu maka saat-saat menunnggu kita akan terasa menyenangkan. Dan akan semakin membahagiakan ketika apa yang ditunggu telah datang. Bagaikan sambil menyelam minum air. Mendapatkan dua keuntungan.
Tepat saat si raja hari kembali ke peraduannya aku sampai di tempat penuh kedamaian. Tempat yang selalu kurindu. Suasana kehangatan bersama keluarga tercinta. Bercengkrama dan berkumpul dengan keluarga bak oase di gurun pasir. Hal tersebut sekarang menjadi hal yang langka bagiku. Minggu tenang memang belum dimulai, tapi aku pulang kampung terlebih dahulu. Hehehe. Menunggu awalnya adalanya sesuatu yang membosankan bagiku. Namun, hari ini menunggu bagiku sangat menyenangkan. So, waiting, why not?